Kamis, 05 Juni 2014

Resume Buku Gerakan Moderen Islam Indonesia (1900-1942)



GERAKAN MODEREN ISLAM INDONESIA (1900- 1942)
Buku ini membicarakan tentang pergerakan Islam di Indonesia antara tahun 1900-1942 yang ditulis olehDeliarNoer. Dimana bukuberasal dari disertasi penulis untuk program doktor pada Univertsitas Cornell di Ithaca, N.Y. Perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu patokan tahun, melainkan biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam waktu yang relative panjang. Tahun 1942 adalah tahun pergantian penguasa di Indonesia, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.
Gerakan moderen islam di Indonesia seperti yang dibicarakan oleh buku ini, tidaklah mulai tahun 1911 dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam, atau tahun 1912 dengan berdirinyas Muhammadiah, atau tahun 1906 dengan terbitnya majalah AL-Iman (di Singapura), atau tahun 1911 dengan terbitnya majalahAl-Munir di Padang, atau tahun 1909 dengan dibangunya sekolah Adabiah di kota tersebut, atau tahun 1905 dengan berdirinya sekolah Jamiat Khair (Djami’at Chair) di Jakarta. Tahun inilah tahun – tahun resmi berdirinya organisasi, sekolah atau terbitnya majalah yang bersangkutan. Namun pemikiran, gerakan permulaan, entah berupa ajakan entah berupa anjuran, baik dari perorangan atau kelompok masyarakat umumnya lebih dahulu dari tahun – tahun di atas.
Pada pergantian abad ini orang-orang Indonesia mulai menyadari bahwa  mereka tidak mungkin berkompetensi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak Kolonialisme Belanda, dan mereka mulai menyadari diperlukan adanya suatu perubahan.
Dalambukuini dimulai pada Bab I dan Bab II yang membicarakan pengenalan dan pertumbuhan pemikiran dan kegiatan pembaharuan Islam yang umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gerakan pendidikan dan sosial di satu pihak dan gerakan politik di pihak lain. Bagian pertama akan meliputi asal-usul dan pertumbuhan gerakan itu di Minangkabau dan dikalangan masyarakat Arab,seperti yang diluncurkanoleh Perserikatan Ulama, Muhamadiyahdan Persatuan Islam.
Gerakan moderen Islam dimulai dari daerah-daerah, karena peranan daerah sendiri dianggap sangat penting dalam penyebaran cita-cita pembaruan ke daerah-daerah lain.Dalam pembahasan ini dimulai dari
Daerah Minangkabau
Seorang pelopor dalam gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah Syaikh Ahmad Khatib, yang telah menyebarkan atas pikiran-pikirannya dari Makkah. Mengenai masalah di Minangkabau Syaikh Ahmad Khatib menentang dan menolak kebiasaan- kebiasaan seperti berjalannya tarekat Naqsabandiyah dan menentang peraturan adat yaitu hak waris. Kedua masalah ini juga terus menerus ditentang oleh para pembaharu. Di antaranya yaitu Syaikh Muhammad Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullahdan Haji Abdullah Ahmad.
Asal-Usul Gerakan moderen Islam muncul jauh sebelum dibentuknya Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 atau Muhammadiyah pada tahun 1912. Kemunculannya dimulai dengan gerakan permulaan seperti berupa ajakan dan anjuran baik dari perorangan atau kelompok masyarakat. Gerakan pembaruan di Minangkabau memang mempunyai suatu sifat tersendiri yang pada umumnya diwarnai oleh sifat politik. Banyak diantara pemimpinnya dibuang oleh pemerintah Belanda. Seorang diantara pemimpin pembaru itu adalah Haji Rasul yang tidak pernah bergabung pada organisasi manapun juga, tapi malah dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai seseorang yang mengganggu ketertiban dan ketentraman.
Masyarakat Arab
Orang-orang Arab mempunyai hubungan baik dengan masyarakat Indonesia dikarenakan adanya kesamaan dalam beragama dan juga ibu-ibunya berasal dari Indonesia. Hubungan mereka kebanyakan dengan penduduk di desa sebagai pedagang. Masyarakat Arab di Indonesia dibagi menjadi dua golongan yaitu sayid dan bukan sayid. Suatu langkah pertama yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan mereka adalah dengan melalui bidang pendidikan.
Ketidak senangan terhadap Belanda menyebabkan mereka untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah Belanda, selain itu juga sekolah-sekolah ini tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan pendidikan penduduk pada umumnya. Oleh sebab itu didirikanlah sebuah organisasi Al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang dikenal Jamiat Khair di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang Arab.
Sekolah dasar Jamiat Khair didirikan tahun 1905. Sekolah ini mengundang guru-guru dari daerah lain, dan dari luar negeri seperti Al-Hasjimi, ia datang ke Indonesia memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olahraga dalam lingkungan Jamiat Khair. Organisasi ini dimulai dengan bentuk moderen dalam masyarakat Islam.
Pembaharuan dalam lingkungan masyarakat Arab kemudian dilanjutkan oleh Al-Irsyad yang didirikan oleh kebanyakan pedagang. Perpecahan dari golongan Sayid selama masa jajahan sepertinya tidak pulih kembali. Kebencian dari pendiri Al-Irsyad terhadap Sayid digambarkan dengan kebijakan  bahwa seorang Sayid tidak boleh menduduki pengurus.
Persyarikatan Ulama
Suatu gerakan pembaharu di Majalengka, Jawa Barat yang kemudian berkembang menjadi Persyarikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Haji Abulhalim yang lahir di Ciberelang Majalengka. Seperti organisasi-organisasi lain, sejak awal berdirinya juga menyelenggarakan tabligh sekitar tahun  1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebaran cita-citanya dan organisasi ini berteguh pada madzhab Syafi’i.
Muhammadiyah
Organisasi yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran-saran muridnya dan dan beberapa anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Organisasi ini mempunyai maksud untuk menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Daerah operasinya diperluas setelah tahun 1917. Sekitar tahun 1920 perluasan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta. Kekurangan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda di Indonesia merupakan salah satu motivasi untuk mendirikan organisasi. Organisasi-organisasi Islam di Yogyakarta ditantang pula oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya. Pihak Muhammadiyah berusaha untuk menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan mencontoh cara-cara kegiatan mereka. Maka dilancarkanlah pekerjaan-pekerjaan social dan gerakan kapanduan.
Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920. Ketika orang-orang Islam didaerah lain telah lebih dulu maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Selain pendidikan Islam, Persis juga mendirikan sebuah pesantren.
Sarekat Islam 1911-1942
Asal usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan Muslimin di Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan Sarekat Islam terutama pada dua puluh tahun pertama sejak didirikan. Perkembangan sarekat Islam dapat dibagi dalam 4 bagian: periode pertama, dari 1911 – 1916 yang memberi corak dan bentuk bagi partai tersebut; kedua, dari 1916 – 1921 yang dapat dikatakan merupakan periode puncak; ketiga, dari 1921 – 1927, periode konsolidasi.
Dalam periode ini partai tersebut bersaing keras dengan golongan Komunis, di samping juga mengalami tekanan yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Dan keempat, dari 1927 – 1942, yang memperlihatkan usaha partai untuk tetap mempetahankan eksistensinya di forum politik Indonesia. Didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912 tumbuh atas organisasi yang bernama Sarekat Dadang Islam.Tujuan didirikannya adalah untuk membangun kebangsaan.
Pertumbuhan dan perkembangan gerakan Islam di Indonesia mengalami berbagai macam kesukaran dan hambatan. Sebagian hambatan berasal dari pihak Belanda dan sebagian lain dari pihak masyarakat Indonesia sendiri. Dari pihak Belanda ,sikap Belanda terhadap Islam di Indonesia tidak tetap. Di satu pihak Islam dilihat sebagai agama, dan katanya pemerintah netral terhadap ini. Tetapi sebaliknya, pemerintah Belanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan memberi kelonggaran kepada kalangan missionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang. Pemerintah juga melarang banyak kegiatan missionaris Islam didaerah animisme, sedangkan missionaris kristen leluasa masuk.
Salah satu cara yang dipergunakan oleh pihak Belanda untuk mengawasi Islam di Indonesia, terutama di Jawa, ialah peraturan yang dikeluarkan dalam tahun 1905 tentang pendidikan agama Islam. Peraturan ini mengharuskan adanya izin tertulis dari bupati atau pejabat yang sama kedudukannya tentang pendidikan agama Islam. Izin ini mengemukakan secara terperinci sifat dari pendidikan itu. Guru agama yang bersangkutan harus membuat daftar dari murid-muridnya menurut bentuk tertentu yang harus dikirimkan secara periodik kepada kepala daerah bersangkutan.
Bupati atau pejabat yang sama kedudukannya hendaklah mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izin yang diberikan. Peraturan ini mudah dijalankan bagi sekolah yang memiliki organisasi yang baik, tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren yang tidak memiliki administrasi seperti ini, tidak mencatat nama dari seluruh santri mereka ataupun staf pengajar mereka. Banyak dari para guru agama itu tidak dapat membaca dan menulis huruf latin.
Demikianlah pengawasan yang secara terus menerus itu dianggap oleh para guru agama membatasi kemerdekaan mereka tetapi peraturan ini secara berangsur-angsur berubah setelah berdirinya Sarekat Islam yang mengadakan kongres Al-Islam pada tahun 1926 yang menolak cara pengawasan dan menganggap bahwa pemberitahuan secara periodik tentang kurikulum, guru-guru dan murid-murid sebagai beban berat, terutama bagi masyarakat madrasah dan lembaga pendidikan Islam lain yang tidak mempunyai biaya untuk menyelenggarakan administrasi sekolah dengan baik.
Tentang peraturan yang khusus ini, Sarekat Islam sendiri tidak mengemukakan pendapatnya sampai tahun 1922 melalui kongres Al- Islam. Pada tahun 1917 partai ini telah memberikan perhatian pada persoalan pendidikan pada umumnya dan menuntut kepada pemerintah agar mencabut peraturan-peraturan yang dapat menghambat penyebaran Islam.
Reaksi yang dihadapi oleh kalangan pembaharu dalam masyarakat Indonesia datan dari dua pihak: yaitu dari kalangan tradisi yang merasa berkeyakinan bahwa mereka juga mendasar kegiatannya pada Islam dan kalangan bangsa sendiri yang walaupun pada umumnya beragama Islam namun banyak mengambil sikap netral terhadap agama sampai kepada sikap tidak peduli terhadap agama. Golongan tradisi tidak pula senantiasa berdiam diri dan bersikap statis. Mereka pun mengadakan perubahan dalam kalangan mereka, pada mulanya dengan mengorganisasi diri dalam Nahdatul Ulama (1926) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1929) dan juga dengan mengadakan perubahan lain.
Mereka mengadakan peerubahan dalam sekolah yang mereka dirikan dengan memperkenalkan sistem kelas disertai kurikulum. Mereka mencontoh cara-cara kalangan modern dalam berpropaganda, seperti mengadakan Tabligh, mereka juga menerbitkan majalahdan brosur. Dalam tahun 1935 Perti malah memperkuat pendapat terdahulu di kalangan modern Islam bahwa harta pendapatan harus tunduk pada hukum faraidh.
Bila perubahan-perubahan ini telah masuk ke kalangan tradisi, tidaklah lama kalangan, tradisi dan modern itu. Kedua pihak memang tetap dalam pendirian masing-masing dalam beberapa masalah agama, tetapi mereka pun mulai menyadari bahwa dasar ajaran mereka, seperti dibakukan dalam rukun Islam dan rukun Iman, adalahsama.
Kedua pihak mulai menyadari bahwa perbedaan mereka terletak dalam soal furu’, sedangkan dalam hal pokok, usul, mereka sepaham. Oleh sebab itu sekitar tahun 1935 mereka mualai berseru pada perlunya persatuan, dengan mengemukakan perlunya toleransi, serta tekanan bahwa mereka tergolong sama sesaudara. Banyak diantara mereka mengadakan perjalanan propaganda bersama untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang dilakukan. Dalam waktu itu telah pula terdapat pengakuan bersama bahwa Islam meliputi agama maupun soal-soal masyarakat, termasuk politik.
Hal ini jelas kelihatan setelah MIAI (Majelis Islam A’alaa Indonesia) terbentuk di Surabaya pada tanggal 21 September tahun 1937 , atas inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah , Kiyai Haji Muhammad Dahlan dan Kiyai Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, serta W. Wondoawiseno dari Sarekat Islam. Adalah suatu federasi yang didukung baik oleh kalangan modern maupun oleh kalangan tradisi. Jumlah anggotanya pun bertambah, yang awalnya dari tujuh pada tahun 1937 menjadi duapuluh satu pada tahun 1941. Tetapi, tentang persatuan bukanlah masalah yang mudah bagi MIAI ini. Hal ini muncul dengan adanya dua hal kejadian, pertama tentang Nahdlatul Ulama, tetapi ini dapat diatasi, kedua tentang Ahmadiyah Lahore yang tetap berada diluar federasi.
MIAI tidak dapat membatasi diri semata-mata pada masalah agama. Situasi politik Indonesia dan tuntutan yang kian bertambah dari pergerakan kemerdekaan pada umumnya, terutama untuk mendirikan parlemen Indonesia dan akhirnya kemerdekaan, menyebabkan federasi ini mengeluarkan pendapat dan pernyataan yang bersifat politik. Secara tidak langsung, golongan tradisi, sekurang-kurangnya yang bergabung dengan MIAI harus juga memikirkan masalah-masalah ini. Maka sekitar tahun 1940 perluasan pengertian tentang Islam dari bidang agama ke bidang sosial dan politik telah sama-sama dijumpai, baik pada kalangan modern maupun tradisi. Mereka pun bersama-sama mengadakan tuntutan dan kegiatan politik.
Dari bab-bab yang ada pada buku ini dapat disimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan suatu proses yang tidak akan berakhir. Gerakan pembaharuan Islam mulai berakar pada pergantian abad yang lalu. Berkembang dari masa ke masa dalam waktu empat puluh tahun, pada tahun 1940 gerakan Islam telah pasti berada di Indonesia.
Gerakan-gerakan ini berasal dari kelompok-kelompok kecil yang mulanya terpisah satu sama lain. Gerakan ini juga sering mendapatkan kesulitan seperti; pertikaian antar kelompok atau golongan, antara pribadi, dan dalam soal ajaran dan ideologi. Namun pada akhirnya gerakan-gerakan ini mampu berdiri kokoh dalam pergerakan nasional.
Suatu hal yang menyebabkan perpisahan antara partai Islam dengan partai-partai yang netral agama sekitar tahun 1930 ialah pendapat partai yang akhir ini tentang Islam umumnya. PPPKI yang dipimpi oleh Sukarno dan kawan-kawannya mengumandangkan persatuan terlepas dan tidak perduli dengan terhadap prinsip lain.
Terhadap sifat kebangsaan yang seperti ini Salim dari Sarekat Islam memberikan peringatan kepada rakyat agar hati-hati dan sadar diri. Menurut Salim, dalam mencintai tanah air hendaklah seorang menempatkan cita rohaniahnya diatas tujuan kebendaannya.