GERAKAN MODEREN ISLAM INDONESIA (1900- 1942)
Buku ini membicarakan tentang pergerakan Islam di Indonesia antara
tahun 1900-1942 yang ditulis olehDeliarNoer. Dimana bukuberasal dari
disertasi penulis untuk program doktor pada Univertsitas Cornell di Ithaca,
N.Y. Perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan kecuali yang bersifat
formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu patokan tahun, melainkan
biasanya mengandung proses awal atau
akhir yang menyebar dalam waktu yang relative panjang. Tahun 1942 adalah tahun
pergantian penguasa di Indonesia, dari tangan Belanda ke tangan Jepang.
Gerakan moderen islam di Indonesia seperti yang dibicarakan oleh
buku ini, tidaklah mulai tahun 1911 dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam,
atau tahun 1912 dengan berdirinyas Muhammadiah, atau tahun 1906 dengan
terbitnya majalah AL-Iman (di Singapura), atau tahun 1911 dengan
terbitnya majalahAl-Munir di Padang, atau tahun 1909 dengan dibangunya sekolah Adabiah
di kota tersebut, atau tahun 1905 dengan berdirinya sekolah Jamiat Khair
(Djami’at Chair) di Jakarta. Tahun inilah tahun – tahun resmi berdirinya
organisasi, sekolah atau terbitnya majalah yang bersangkutan. Namun pemikiran,
gerakan permulaan, entah berupa ajakan entah berupa anjuran, baik dari
perorangan atau kelompok masyarakat umumnya lebih dahulu dari tahun – tahun di
atas.
Pada pergantian abad ini orang-orang Indonesia mulai menyadari
bahwa mereka tidak mungkin berkompetensi
dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak Kolonialisme Belanda, dan
mereka mulai menyadari diperlukan adanya suatu perubahan.
Dalambukuini
dimulai pada Bab I dan Bab II yang membicarakan pengenalan dan
pertumbuhan pemikiran dan kegiatan pembaharuan Islam yang umumnya dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu gerakan pendidikan dan sosial di satu pihak dan
gerakan politik di pihak lain. Bagian pertama akan meliputi asal-usul dan
pertumbuhan gerakan itu di Minangkabau dan dikalangan masyarakat Arab,seperti
yang diluncurkanoleh Perserikatan Ulama, Muhamadiyahdan Persatuan Islam.
Gerakan moderen Islam dimulai dari daerah-daerah,
karena peranan daerah sendiri dianggap
sangat penting dalam penyebaran cita-cita pembaruan ke daerah-daerah lain.Dalam pembahasan ini dimulai dari
Daerah Minangkabau
Seorang pelopor dalam gerakan pembaharuan di Minangkabau adalah Syaikh
Ahmad Khatib, yang telah menyebarkan atas pikiran-pikirannya dari Makkah.
Mengenai masalah di Minangkabau Syaikh Ahmad Khatib menentang dan menolak kebiasaan-
kebiasaan seperti berjalannya tarekat Naqsabandiyah dan menentang peraturan adat
yaitu hak waris. Kedua masalah ini juga terus menerus ditentang oleh para
pembaharu. Di antaranya yaitu Syaikh Muhammad Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad
Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullahdan Haji Abdullah Ahmad.
Asal-Usul Gerakan moderen Islam muncul jauh sebelum dibentuknya
Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 atau Muhammadiyah pada tahun 1912.
Kemunculannya dimulai dengan gerakan permulaan seperti berupa ajakan dan
anjuran baik dari perorangan atau kelompok masyarakat. Gerakan pembaruan di
Minangkabau memang mempunyai suatu sifat tersendiri yang pada umumnya diwarnai
oleh sifat politik. Banyak diantara pemimpinnya dibuang oleh pemerintah Belanda.
Seorang diantara pemimpin pembaru itu adalah Haji Rasul yang tidak pernah
bergabung pada organisasi manapun juga, tapi malah dituduh oleh pemerintah
Belanda sebagai seseorang yang mengganggu ketertiban dan ketentraman.
Masyarakat
Arab
Orang-orang Arab mempunyai hubungan baik dengan masyarakat
Indonesia dikarenakan adanya kesamaan dalam beragama dan juga ibu-ibunya
berasal dari Indonesia. Hubungan mereka kebanyakan dengan penduduk di desa
sebagai pedagang. Masyarakat Arab di Indonesia dibagi menjadi dua golongan
yaitu sayid dan bukan sayid. Suatu langkah pertama yang dilakukan untuk
memperbaiki keadaan mereka adalah dengan melalui bidang pendidikan.
Ketidak senangan terhadap Belanda menyebabkan mereka untuk tidak
menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah Belanda, selain itu juga
sekolah-sekolah ini tidak mencukupi untuk memenuhi keperluan pendidikan
penduduk pada umumnya. Oleh sebab itu didirikanlah sebuah organisasi
Al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang dikenal Jamiat Khair di Jakarta pada tanggal 17
Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk setiap muslim, tetapi mayoritas
anggotanya adalah orang Arab.
Sekolah dasar Jamiat Khair didirikan tahun 1905. Sekolah ini
mengundang guru-guru dari daerah lain, dan dari luar negeri seperti Al-Hasjimi,
ia datang ke Indonesia memperkenalkan gerakan kepanduan dan juga olahraga dalam
lingkungan Jamiat Khair. Organisasi ini dimulai dengan bentuk moderen dalam
masyarakat Islam.
Pembaharuan dalam lingkungan masyarakat Arab kemudian dilanjutkan
oleh Al-Irsyad yang didirikan oleh kebanyakan pedagang. Perpecahan dari
golongan Sayid selama masa jajahan sepertinya tidak pulih kembali. Kebencian
dari pendiri Al-Irsyad terhadap Sayid digambarkan dengan kebijakan bahwa seorang Sayid tidak boleh menduduki
pengurus.
Persyarikatan Ulama
Suatu gerakan pembaharu di Majalengka, Jawa Barat yang kemudian
berkembang menjadi Persyarikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif
Haji Abulhalim yang lahir di Ciberelang Majalengka. Seperti
organisasi-organisasi lain, sejak awal berdirinya juga menyelenggarakan tabligh
sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah
dan brosur sebagai media penyebaran cita-citanya dan organisasi ini berteguh
pada madzhab Syafi’i.
Muhammadiyah
Organisasi yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 di
Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran-saran muridnya dan dan beberapa
anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat
permanen. Organisasi ini mempunyai maksud untuk menyebarkan ajaran Kanjeng Nabi
Muhammad SAW. Daerah operasinya diperluas setelah tahun 1917. Sekitar tahun
1920 perluasan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta. Kekurangan sekolah yang
didirikan oleh pemerintah Belanda di Indonesia merupakan salah satu motivasi
untuk mendirikan organisasi. Organisasi-organisasi Islam di Yogyakarta ditantang
pula oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya. Pihak Muhammadiyah
berusaha untuk menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan mencontoh
cara-cara kegiatan mereka. Maka dilancarkanlah pekerjaan-pekerjaan social dan
gerakan kapanduan.
Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun
1920. Ketika orang-orang Islam didaerah lain telah lebih dulu maju dalam berusaha
untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Selain pendidikan Islam, Persis juga
mendirikan sebuah pesantren.
Sarekat Islam 1911-1942
Asal usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan Muslimin di
Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan Sarekat
Islam terutama pada dua puluh tahun pertama sejak didirikan. Perkembangan
sarekat Islam dapat dibagi dalam 4 bagian: periode pertama, dari 1911 – 1916
yang memberi corak dan bentuk bagi partai tersebut; kedua, dari 1916 – 1921
yang dapat dikatakan merupakan periode puncak; ketiga, dari 1921 – 1927,
periode konsolidasi.
Dalam periode ini partai tersebut bersaing keras dengan golongan
Komunis, di samping juga mengalami tekanan yang dilancarkan oleh pemerintah
Belanda. Dan keempat, dari 1927 – 1942, yang memperlihatkan usaha partai untuk
tetap mempetahankan eksistensinya di forum politik Indonesia. Didirikan di Solo
pada tanggal 11 November 1912 tumbuh atas organisasi yang bernama Sarekat
Dadang Islam.Tujuan didirikannya adalah untuk membangun kebangsaan.
Pertumbuhan dan perkembangan gerakan Islam di Indonesia mengalami
berbagai macam kesukaran dan hambatan. Sebagian hambatan berasal dari pihak
Belanda dan sebagian lain dari pihak masyarakat Indonesia sendiri. Dari pihak
Belanda ,sikap Belanda terhadap Islam di Indonesia tidak tetap. Di satu pihak
Islam dilihat sebagai agama, dan katanya pemerintah netral terhadap ini. Tetapi
sebaliknya, pemerintah Belanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan memberi
kelonggaran kepada kalangan missionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan
uang. Pemerintah juga melarang banyak kegiatan missionaris Islam didaerah
animisme, sedangkan missionaris kristen leluasa masuk.
Salah satu cara yang dipergunakan oleh pihak Belanda untuk
mengawasi Islam di Indonesia, terutama di Jawa, ialah peraturan yang
dikeluarkan dalam tahun 1905 tentang pendidikan agama Islam. Peraturan ini
mengharuskan adanya izin tertulis dari bupati atau pejabat yang sama
kedudukannya tentang pendidikan agama Islam. Izin ini mengemukakan secara
terperinci sifat dari pendidikan itu. Guru agama yang bersangkutan harus
membuat daftar dari murid-muridnya menurut bentuk tertentu yang harus
dikirimkan secara periodik kepada kepala daerah bersangkutan.
Bupati atau pejabat yang sama kedudukannya hendaklah mengawasi dan mengecek
apakah guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izin yang diberikan.
Peraturan ini mudah dijalankan bagi sekolah yang memiliki organisasi yang baik,
tetapi tidak demikian halnya dengan pesantren yang tidak memiliki administrasi
seperti ini, tidak mencatat nama dari seluruh santri mereka ataupun staf
pengajar mereka. Banyak dari para guru agama itu tidak dapat membaca dan
menulis huruf latin.
Demikianlah pengawasan yang secara terus menerus itu dianggap oleh
para guru agama membatasi kemerdekaan mereka tetapi peraturan ini secara
berangsur-angsur berubah setelah berdirinya Sarekat Islam yang mengadakan
kongres Al-Islam pada tahun 1926 yang menolak cara pengawasan dan menganggap
bahwa pemberitahuan secara periodik tentang kurikulum, guru-guru dan murid-murid
sebagai beban berat, terutama bagi masyarakat madrasah dan lembaga pendidikan
Islam lain yang tidak mempunyai biaya untuk menyelenggarakan administrasi
sekolah dengan baik.
Tentang peraturan yang khusus ini, Sarekat Islam sendiri tidak
mengemukakan pendapatnya sampai tahun 1922 melalui kongres Al- Islam. Pada
tahun 1917 partai ini telah memberikan perhatian pada persoalan pendidikan pada
umumnya dan menuntut kepada pemerintah agar mencabut peraturan-peraturan yang
dapat menghambat penyebaran Islam.
Reaksi yang dihadapi oleh kalangan pembaharu dalam masyarakat
Indonesia datan dari dua pihak: yaitu dari kalangan tradisi yang merasa
berkeyakinan bahwa mereka juga mendasar kegiatannya pada Islam dan kalangan
bangsa sendiri yang walaupun pada umumnya beragama Islam namun banyak mengambil
sikap netral terhadap agama sampai kepada sikap tidak peduli terhadap agama.
Golongan tradisi tidak pula senantiasa berdiam diri dan bersikap statis. Mereka
pun mengadakan perubahan dalam kalangan mereka, pada mulanya dengan
mengorganisasi diri dalam Nahdatul Ulama (1926) dan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (1929) dan juga dengan mengadakan perubahan lain.
Mereka mengadakan peerubahan dalam sekolah yang mereka dirikan
dengan memperkenalkan sistem kelas disertai kurikulum. Mereka mencontoh
cara-cara kalangan modern dalam berpropaganda, seperti mengadakan Tabligh,
mereka juga menerbitkan majalahdan brosur. Dalam tahun 1935 Perti malah
memperkuat pendapat terdahulu di kalangan modern Islam bahwa harta pendapatan
harus tunduk pada hukum faraidh.
Bila perubahan-perubahan ini telah masuk ke kalangan tradisi,
tidaklah lama kalangan, tradisi dan modern itu. Kedua pihak memang tetap dalam
pendirian masing-masing dalam beberapa masalah agama, tetapi mereka pun mulai
menyadari bahwa dasar ajaran mereka, seperti dibakukan dalam rukun Islam dan
rukun Iman, adalahsama.
Kedua pihak mulai menyadari bahwa perbedaan mereka terletak dalam
soal furu’, sedangkan dalam hal pokok, usul, mereka sepaham. Oleh sebab itu
sekitar tahun 1935 mereka mualai berseru pada perlunya persatuan, dengan
mengemukakan perlunya toleransi, serta tekanan bahwa mereka tergolong sama
sesaudara. Banyak diantara mereka mengadakan perjalanan propaganda bersama
untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang
dilakukan. Dalam waktu itu telah pula terdapat pengakuan bersama bahwa Islam
meliputi agama maupun soal-soal masyarakat, termasuk politik.
Hal ini jelas kelihatan setelah MIAI (Majelis Islam A’alaa
Indonesia) terbentuk di Surabaya pada tanggal 21 September tahun 1937 , atas
inisiatif Kiyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah , Kiyai Haji Muhammad Dahlan
dan Kiyai Wahab Hasbullah dari Nahdatul Ulama, serta W. Wondoawiseno dari
Sarekat Islam. Adalah suatu federasi yang didukung baik oleh kalangan modern
maupun oleh kalangan tradisi. Jumlah anggotanya pun bertambah, yang awalnya
dari tujuh pada tahun 1937 menjadi duapuluh satu pada tahun 1941. Tetapi,
tentang persatuan bukanlah masalah yang mudah bagi MIAI ini. Hal ini muncul
dengan adanya dua hal kejadian, pertama tentang Nahdlatul Ulama, tetapi ini
dapat diatasi, kedua tentang Ahmadiyah Lahore yang tetap berada diluar
federasi.
MIAI tidak dapat membatasi diri semata-mata pada masalah agama.
Situasi politik Indonesia dan tuntutan yang kian bertambah dari pergerakan
kemerdekaan pada umumnya, terutama untuk mendirikan parlemen Indonesia dan
akhirnya kemerdekaan, menyebabkan federasi ini mengeluarkan pendapat dan
pernyataan yang bersifat politik. Secara tidak langsung, golongan tradisi,
sekurang-kurangnya yang bergabung dengan MIAI harus juga memikirkan
masalah-masalah ini. Maka sekitar tahun 1940 perluasan pengertian tentang Islam
dari bidang agama ke bidang sosial dan politik telah sama-sama dijumpai, baik
pada kalangan modern maupun tradisi. Mereka pun bersama-sama mengadakan
tuntutan dan kegiatan politik.
Dari bab-bab yang ada pada buku ini dapat disimpulkan bahwa gerakan
pembaharuan Islam di Indonesia merupakan suatu proses yang tidak akan berakhir.
Gerakan pembaharuan Islam mulai berakar pada pergantian abad yang lalu.
Berkembang dari masa ke masa dalam waktu empat puluh tahun, pada tahun 1940
gerakan Islam telah pasti berada di Indonesia.
Gerakan-gerakan ini berasal dari kelompok-kelompok kecil yang
mulanya terpisah satu sama lain. Gerakan ini juga sering mendapatkan kesulitan
seperti; pertikaian antar kelompok atau golongan, antara pribadi, dan dalam
soal ajaran dan ideologi. Namun pada akhirnya gerakan-gerakan ini mampu berdiri
kokoh dalam pergerakan nasional.
Suatu hal yang menyebabkan perpisahan antara partai Islam dengan
partai-partai yang netral agama sekitar tahun 1930 ialah pendapat partai yang
akhir ini tentang Islam umumnya. PPPKI yang dipimpi oleh Sukarno dan
kawan-kawannya mengumandangkan persatuan terlepas dan tidak perduli dengan
terhadap prinsip lain.
Terhadap sifat kebangsaan yang seperti ini Salim dari Sarekat Islam
memberikan peringatan kepada rakyat agar hati-hati dan sadar diri. Menurut
Salim, dalam mencintai tanah air hendaklah seorang menempatkan cita rohaniahnya
diatas tujuan kebendaannya.